Pendiri IKHW Aceh Kritik Tren Patungan Beli Hutan: “Hutan Bukan Komoditas”
![]() |
| Afrizal Akmal - Pendiri Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf Aceh |
Aceh Today, Banda Aceh - Pendiri Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW) Aceh, Afrizal Akmal, mengkritik maraknya kampanye influencer di media sosial yang mengajak publik patungan untuk membeli hutan. Ia menilai, hutan pada dasarnya tidak untuk diperjualbelikan karena berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan.
Menurut Afrizal, narasi “membeli hutan” mencerminkan cara pandang keliru manusia modern yang cenderung ingin menguasai alam demi rasa aman semu.
"Membeli hutan hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar. Kita pikir dengan membeli hutan, kita menyelamatkannya. Padahal yang sering kali perlu diselamatkan justru manusia dari keserakahan dan ilusi bahwa bumi adalah properti pribadi,” ujar Afrizal seperti dilansir dari laman Republika, Rabu (10/12/2025).
Dorong Konservasi Lewat Skema Wakaf
Berbeda dengan pendekatan tersebut, Afrizal menjelaskan bahwa IKHW mengembangkan gerakan konservasi berbasis wakaf. Melalui skema ini, lahan-lahan kritis dibebaskan, lalu dihijaukan kembali dengan melibatkan masyarakat setempat dan dana publik berbasis crowdfunding.
Ia menyebut, program ini memungkinkan masyarakat luas turut berpartisipasi sebagai wakif hanya dengan donasi mulai dari Rp10.000. Konsep tersebut dirancang agar pemulihan lingkungan berjalan secara partisipatif dan berkelanjutan.
“Hutan wakaf adalah upaya menyelamatkan bentang alam. Lahan kritis dibebaskan, lalu kami tanam kembali hingga berfungsi sebagai hutan,” jelasnya.
Wakaf untuk Kemaslahatan Ekologi
Afrizal menegaskan bahwa manfaat hutan wakaf tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, melainkan untuk kemaslahatan ekologis, terutama fungsi tata air dan keberlanjutan ekosistem.
"Ini bukan wakaf konvensional. Yang diwakafkan adalah manfaat ekologinya, agar dirasakan seluruh makhluk hidup,” katanya.
Dalam praktiknya, program ini tidak bergantung pada lembaga besar. Kolaborasi lebih banyak dilakukan secara situasional dengan komunitas lokal dan lembaga lingkungan.
Crowdfunding dan Partisipasi Publik
Afrizal menjelaskan, metode crowdfunding dipilih untuk menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap upaya pelestarian alam. Donasi dibuka melalui situs web dan disosialisasikan lewat media sosial seperti Facebook dan Instagram.
“Siapa pun bisa berdonasi. Tidak ada batasan nominal. Semua donatur diposisikan sebagai wakif,” ucap dia.
Ia menutup dengan penegasan bahwa hutan semestinya dipandang sebagai subjek kehidupan, bukan objek kepemilikan.
“Hutan bukan sesuatu yang harus dimiliki manusia, tapi sesuatu yang memberi kehidupan. Lewat konsep wakaf, kita justru melepaskan rasa memiliki agar alam memberi manfaat bagi lebih banyak spesies,” tutup Afrizal.

