Update

Menembus Lumpur, Menyeberangi Takdir: Perjuangan Warga Tiga Desa Aceh Tengah yang Terjebak Isolasi

Aceh Today, Aceh Tengah - Di pagi yang masih berkabut, langkah-langkah kaki terdengar pelan tetapi mantap. Di bawah suhu dingin pegunungan Aceh Tengah, beberapa warga Karang Ampar berjalan beriringan, memanggul karung logistik di punggung mereka.

Di depan mereka, hamparan lumpur tebal menganga seperti jebakan panjang. Jalan setapak yang dulu bisa dilewati motor kini berubah menjadi alur air bercampur tanah liat, licin seperti sabun. Setiap langkah harus dihitung.

Bukan perjalanan biasa. Ini perjalanan mempertahankan hidup.

Jembatan Gantung Darurat: Papan Goyang, Tali Bergesek Angin

Di ujung jalan berlumpur, berdiri jembatan gantung darurat yang dibuat warga dari papan seadanya dan potongan tali-temali.

Angin pagi membuat seluruh rangka jembatan bergetar. Di bawahnya, sungai deras yang memakan badan jalan beberapa hari lalu mendidih tak henti.

Di sinilah warga harus melintas setiap hari, tak peduli usia, cuaca, atau kondisi tubuh.

“Kalau tidak lewat sini, kami tidak makan,” kata Salma (29), seorang ibu muda yang menuntun anaknya menyeberang pelan sambil membawa sebungkus mie instan dan beras lima kilogram.

Di tengah jembatan, langkah mereka terhenti. Angin berembus lebih kencang. Papan bergoyang. Tali berdecit.

Anak itu menangis kecil.

“Tengok, Nak. Jangan ke bawah,” bisik ibunya.

Di tempat inilah hidup dipertaruhkan beberapa kali sehari.

Akses Putus, Desa Terkepung

Ketiga desa yakni Karang Ampar, Suka Makmur, dan Bale Atu benar-benar terisolir setelah banjir bandang merusak jembatan utama dan memutus jalan besar menuju pusat Kecamatan Ketol.

  • Kendaraan tidak bisa masuk.
  • Petugas sulit menjangkau.
  • Bantuan tertahan di luar desa.
Di Karang Ampar, satu-satunya suara keras yang terdengar hanyalah suara batu jatuh dan gemuruh air sungai yang belum sepenuhnya surut.

“Desa kami terputus total,” ujar Feriyanto, salah satu warga yang paling aktif menjadi penghubung informasi. “Untuk mengambil logistik, kami harus jalan kaki jauh. Melewati bukit, lumpur, dan jembatan gantung tanpa pengaman.”

Tubuh Feriyanto dipenuhi lumpur hingga lutut ketika ditemui. Tetapi ia tetap tersenyum tipis. 

“Ini sudah kami lalui empat hari berturut-turut,” katanya.

Kepedihan Tanpa Tenaga Medis

Di salah satu rumah yang dindingnya retak akibat terjangan banjir, seorang lansia berbaring tanpa obat.

Di sudut lain, seorang anak mengalami demam tinggi.

Tak ada obat demam, tak ada bidan, tak ada perawat.

“Sakit-sakit ringan saja kami rawat sendiri,” kata Nurlia (47). “Kalau parah? Kami hanya bisa pasrah. Tidak ada akses.”

Warga menunggu, tetapi tidak ada mobil ambulance yang bisa masuk. Tidak ada tenaga medis lapangan. Tidak ada pos kesehatan darurat.

“Hari ini kami aman. Besok? Kami tidak tahu,” ujarnya pelan, menatap bukit yang basah oleh sisa longsor.

Menuju Bener Meriah: Perjalanan Tiga Jam yang Bisa Mengambil Nyawa

Untuk mendapatkan bantuan, warga harus berjalan kaki ke wilayah Bener Meriah, perjalanan sekitar tiga jam melewati jalur yang kini hanya tinggal sisa-sisa pondasi jalan.

Tanah di beberapa titik masih labil. Longsor kecil terjadi hampir setiap malam ketika hujan turun.

“Tapi mau bagaimana,” kata Ferianto. “Kami harus makan.”

Di punggungnya, ia membawa satu karung beras dan dua liter minyak goreng. Nafasnya terengah, tetapi langkahnya tidak berhenti.

Di belakangnya, seorang perempuan muda memanggul galon air. Di depannya, dua laki-laki membawa mie instan. Semua berjalan dalam barisan kecil dengan wajah menyunggingkan kelelahan.

Meski terisolir, masyarakat tidak tinggal diam. Mereka bergotong royong memperbaiki jalur desa, memasang kayu tambahan di jembatan darurat, dan membuat tanda bahaya di area yang rawan longsor.

Namun mereka tahu, upaya mereka hanyalah penahan sementara.

“Yang kami butuhkan sekarang adalah akses darurat yang aman. Jembatan sementara. Bantuan kesehatan. Jangan biarkan desa kami terkurung terlalu lama,” kata Feriyanto.

Saat matahari tenggelam di balik lembah Aceh Tengah, warga kembali berjalan pulang melewati jembatan bergoyang itu. Tanpa lampu. Tanpa pagar. Hanya berbekal doa dan keberanian.

Di ketiga desa itu, malam turun perlahan. Dan perjuangan untuk bertahan hidup belum selesai.

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image