MoU Helsinki Dilanggar? Akademisi Desak Kembalikan Batas Aceh Sesuai Peta 1956

Table of Contents

ACEH TODAYAkademisi dan pengamat sosial-politik asal Aceh, Dr. Iswadi, kembali menyerukan pentingnya pengakuan terhadap batas wilayah Provinsi Aceh berdasarkan peta tahun 1956, sebagaimana tertuang dalam butir 1.1.4 Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005.

Menurut Dr. Iswadi, batas historis Aceh mencakup wilayah hingga Tanjung Pura, yang kini masuk dalam administrasi Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Ia menilai bahwa penyempitan wilayah tanpa merujuk pada peta yang disepakati merupakan bentuk pelanggaran terhadap semangat perdamaian MoU Helsinki.

“Persoalan batas wilayah bukan semata teknis administratif. Ini menyangkut integritas hukum dan penghormatan terhadap perjanjian internasional yang menjamin hak-hak rakyat Aceh,” tegasnya.

Ia mengkritik lambannya implementasi poin-poin MoU, terutama menyangkut penegasan wilayah, yang menurutnya mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam menyelesaikan persoalan pasca-konflik.

Sejumlah elemen masyarakat sipil Aceh juga disebut telah berinisiatif memperjuangkan hal ini melalui surat resmi yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri, BPN, hingga DPR Aceh. Namun, Dr. Iswadi menyayangkan adanya keputusan sepihak pemerintah pusat dalam penetapan batas tanpa melibatkan DPRA dan unsur GAM.

“Keterlibatan semua pihak sangat penting agar hasilnya sah dan tidak menimbulkan polemik baru,” ujarnya.

Sebagai dasar historis, ia merujuk pada keberadaan tugu batas lama di Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, serta dokumen administratif yang tersimpan di lembaga arsip nasional. Hal ini, menurutnya, memperkuat klaim Aceh atas wilayah yang secara historis masuk dalam peta tahun 1956.

Menutup pernyataannya, Dr. Iswadi meminta semua pihak—terutama Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan GAM—untuk segera duduk bersama dan meninjau kembali implementasi MoU secara menyeluruh. Ia menekankan bahwa penegasan batas wilayah bukan hanya persoalan masa lalu, tapi juga menyangkut keadilan dan masa depan damai bagi rakyat Aceh.