Potret Kehidupan Mak-Mak Pencari Tiram di Pesisir Lhokseumawe
Oleh: Nazira Fadillah
Siswa SMKN 4 Lhokseumawe
ACEH TODAY - Di pesisir Lhokseumawe yang membentang sepanjang pantai Selat Malaka, terdapat dua sisi kehidupan yang begitu kontras namun menjadi identitas khas bagi kota ini. Di satu sisi, berdiri kokohnya Kilang Arun, salah satu perusahaan penyulingan gas terbesar di dunia, dengan tangki-tangki besar yang berjajar di sepanjang pantai.
Kilang Arun menjadi pemandangan yang menarik bagi para pengunjung Pantai Ujong Blang, tempat wisata yang lokasinya tak jauh dari kilang ini. Kapal-kapal dari berbagai negara kerap terlihat bersandar di dermaga pantai tersebut, menunggu giliran untuk mengangkut gas yang telah dicairkan.
Kehadiran kilang ini membawa pesona tersendiri bagi masyarakat, sekaligus menjadi simbol kemajuan industri di Lhokseumawe.
Namun, di sisi lain muara sungai Pantai Ujong Blang, terdapat potret kehidupan yang sama sekali berbeda, yakni aktivitas tradisional para wanita paruh baya yang sehari-harinya mencari tiram di sungai.
Pantai Ujong Blang Lhokseumawe. ©2021 Merdeka.com/Laode Muhammad Iqbal |
Profesi ini tidak tersentuh teknologi modern. Para “mak-mak pencari tiram,” begitu mereka biasa disebut, bekerja dengan peralatan sederhana dan mengandalkan keterampilan tangan untuk menangkap tiram-tiram yang menempel pada kayu atau bambu di dasar sungai.
Dengan alat sederhana berupa keranjang, pisau, dan alat pemukul dari kayu, mereka menjalani kehidupan yang jauh dari hiruk-pikuk modernisasi.
Dalam perjalanan saya ke lokasi pencarian tiram, tepatnya di sekitar jembatan desa Loskala yang hanya berjarak sekitar 10 menit dari sekolah, kami melewati perkampungan nelayan, perkebunan kelapa, dan tambak-tambak kecil di sepanjang jalan.
Udara pesisir yang panas dan suara kendaraan di sekitar jembatan Loskala tidak menyurutkan semangat untuk menyaksikan bagaimana para mak-mak ini mencari tiram.
Sesampainya di lokasi, saya disambut oleh Bu Yusnidar, salah satu pencari tiram yang telah menekuni profesi ini selama puluhan tahun. Ia tampak ramah dan bersemangat, meskipun sudah berada di air setinggi pinggang untuk mencari tiram sejak pagi.
Dengan cekatan, Yusnidar dan teman-temannya mulai menyisir dasar sungai, memisahkan tiram dari batang kayu dengan tangan terampil yang sudah terbiasa bekerja keras.
Aktivitas ini dilakukan di bawah sinar matahari yang terik, namun wajah mereka tetap ceria. Di tengah pencarian, mereka bercengkerama, membicarakan keseharian mereka, seolah air sungai menjadi ruang kebersamaan yang unik bagi para ibu ini.
Dalam sehari, mereka bisa mengumpulkan hingga dua keranjang tiram yang kemudian dibawa pulang untuk proses pengolahan berikutnya.
Saat air mulai pasang di sore hari, para mak-mak pencari tiram ini naik ke darat dengan membawa hasil jerih payah mereka. Namun, pekerjaan mereka belum selesai.
Tiram-tiram yang sudah terkumpul akan dikupas keesokan harinya, proses ini disebut “culek tirom,” dan dilakukan di lokasi penjualan agar tiram tetap segar saat dijual. Dengan pisau pencongkel, tiram dikeluarkan dari cangkangnya, dicuci bersih, lalu dikemas dalam plastik berisi air untuk menjaga kesegarannya.
Setiap bungkus tiram dihitung dalam ukuran “muk” atau setara dengan satu gelas air mineral, dan dijual dengan harga sekitar 10 ribu rupiah per muk.
Para mak-mak ini menjual tiram-tiram hasil kerja keras mereka di sepanjang jalan Pantai Ujong Blang atau di depan rumah mereka. Dengan lapak sederhana, mereka menawarkan tiram kepada para pengunjung yang datang menikmati suasana pantai.
Waktu berjualan mereka biasanya dimulai dari pukul 10 pagi hingga sore hari. Dalam sehari, Yusnidar bisa menjual sekitar 10 hingga 15 bungkus tiram, yang berarti penghasilan sekitar 100 hingga 150 ribu rupiah jika semua terjual. Namun, tidak setiap hari hasil penjualan berjalan mulus.
Terkadang, masih ada sisa tiram yang tidak terjual. Jika demikian, tiram yang masih tersisa biasanya dijual lebih murah, diberikan kepada tetangga, atau dikonsumsi sendiri.
Ada hal yang menarik ketika saya menanyakan mengapa pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Yusnidar menjelaskan bahwa para suami mereka umumnya bekerja sebagai nelayan yang pergi melaut.
Mencari tiram menjadi cara para ibu ini untuk membantu menambah pendapatan keluarga. Jam kerja mereka yang fleksibel dan menyesuaikan saat air laut surut memberikan kebebasan bagi mereka untuk mengatur waktu bekerja sambil tetap mengurus keluarga.
Pengalaman ini mengajarkan saya banyak hal. Kehidupan para mak-mak pencari tiram menunjukkan betapa kuat dan tegar mereka dalam menjalani profesi ini dengan cara tradisional, jauh dari teknologi dan kenyamanan modern.
Mereka bekerja keras dengan tangan kosong di dalam air, menghadapi cuaca panas, tanpa sedikit pun mengeluh. Di satu sisi muara, kemegahan kilang gas dengan teknologi canggih berdiri, sementara di sisi lainnya, kehidupan sederhana para ibu pencari tiram tetap berlangsung dalam kesederhanaan.
Kontras ini menunjukkan dua sisi kehidupan yang saling melengkapi dan mengisi, menjadi bagian dari identitas kota Lhokseumawe.
Di luar itu, kehidupan pencari tiram juga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang kuat. Lhokseumawe memiliki potensi alam yang luar biasa, seperti tiram yang melimpah di perairan sekitar Pantai Ujong Blang.
Keberadaan tiram yang mudah didapat menjadi salah satu kekayaan yang disyukuri oleh para ibu ini. Pantai Ujong Blang pun tak hanya menjadi tempat wisata, tetapi juga lokasi untuk menikmati kuliner khas berbahan tiram, seperti mie aceh tiram yang terkenal.
Di tengah kehidupan yang serba modern, cara tradisional yang mereka jalani ini memberikan warna khas bagi kota dan kearifan lokal yang terus dilestarikan.
Di balik perjuangan mereka, Yusnidar memiliki harapan sederhana. Ia berharap profesi mereka mendapatkan perhatian, terutama dalam menjaga kelestarian sungai tempat mereka mencari tiram.
Dukungan berupa lapak yang lebih baik, peralatan yang layak, dan bantuan dari pemerintah dalam hal teknologi sederhana untuk memudahkan mereka dalam mencari tiram bisa sangat berarti. Baginya, sungai adalah sumber kehidupan, dan ia berharap agar kelestariannya terjaga untuk generasi mendatang.
Perjalanan ini bukan hanya tentang menyaksikan proses pencarian tiram yang tradisional, tetapi juga tentang mengapresiasi ketekunan dan ketulusan para mak-mak pencari tiram yang tidak kenal lelah.
Kehidupan sederhana mereka menyimpan banyak pelajaran berharga. Mereka adalah simbol ketangguhan, kebersamaan, dan kegigihan dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
Bagi kita yang menikmati sajian tiram segar atau mie aceh tiram di sepanjang Pantai Ujong Blang, menghargai mereka dengan membeli tanpa menawar adalah bentuk penghargaan kecil atas perjuangan mereka yang tidak mudah.